Kaya Atau Miskin Seseorang Itu Ketentuan Dari Allah Manusia Hanyalah Sebatas

Renungan Ramadhan: Kaya Atau Miskin Hanyalah Ujian

Allah SWT telah membuat ketetapan bahwa diantara manusia akan ada yang kaya dan ada yang miskin (QS.17:30). Sampai kiamat, orang miskin akan tetap ada meskipun manusia berupaya keras menghilangkannya. Kaya dan miskin itu adalah skenario Allah SWT, seperti adanya sebagian orang  beriman dan ada pula manusia yang kafir (QS.64:2). Kalau ada upaya menghapus kemiskinan berarti menentang Allah SWT.

Allah SWT membuat ada yang kaya dan miskin, agar manusia saling berhubungan satu sama lain. Bayangkan jika seluruh manusia kaya, siapa yang menjadi tukang tambal ban? Sebaliknya jika manusia miskin semua akan terjadi kerusuhan memperebutkan makanan. Selain itu, adanya kaya dan miskin adalah model ujian dari Allah SWT bagi manusia, sehingga pada setiap orang akan datang suatu masa diuji dengan kekayaan dan dimasa lain akan diuji dengan kemiskinan (QS.89:15-16). Allah SWT ingin melihat bagaimana reaksi si fulan ketika di uji dengan kedua hal itu, adakah dia tetap bersyukur atau menjadi kufur. Umumnya manusia akan taat ketika miskin, dan lalai ketika sudah diuji dengan kekayaan (ingat kisah Qarun atau Tsa’labah). Begitu beratnya ujian kekayaan itu, sehingga Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA pernah berkata,”Kami di uji dengan kemiskinan kami sanggup, namun tatkala diuji dengan kekayaan hampir-hampir kami tak sanggup”.

Manusia kaya bukan karena dia pintar atau hebat, melainkan karena Allah SWT sedang memudahkan rezekinya. Berapa banyak orang pintar tapi tidak kaya, dan berapa banyak orang yang tidak pintar namun diberi kekayaan melimpah. Tidak ada korelasi (hubungan) positif antara kaya dengan tinggi rendahnya pendidikan. Bahkan kadangkala semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin sulit pula rezekinya, namun orang yang tidak berpendidikan tinggi malah begitu mudah rezekinya. Banyak sarjana ekonomi hari ini menganggur dan tak punya penghasilan. Semuanya membuktikan bahwa kita manusia tidak punya kuasa atas kekayaan, melainkan Allah SWT lah yang Maha Berkehendak. Buktinya, 100 orang terkaya di dunia tidak berasal dari turunan orang kaya, 100 orang terkaya di Indonesia tidak bersekolah tinggi.

Seperti musim panas dan musim hujan, kaya dan miskin akan datang bergiliran. Tidak ada garansi bahwa seseorang akan kaya selamanya, dan tidak ada pula ketetapan bahwa orang miskin akan miskin selamanya. Betapa banyak orang kaya, anaknya melarat. Sebaliknya, betapa banyak orang miskin yang anaknya kaya raya. Tidak ada suatu formula yang memberikan resep agar seseorang mampu bertahan kaya selamanya. Allah SWT bisa membuat kondisi orang kaya tiba-tiba miskin dengan sebab yang bermacam-macam (kena penyakit, dihukum penjara, usaha bangkrut). Sebaliknya orang miskin bisa Allah SWT kayakan secara cepat melalui berbagai jalan (usahanya lancar, diberi otak dan ilmu yang bermanfaat). Karena kaya dan miskin tidak bisa diperkirakan dan dikendalikan, maka kita harus selalu siap menghadapi kedua ujian ini, kaya atau miskin!

Miskin adalah orang yang sehat dan kuat fisiknya, punya pekerjaan tetap dan punya penghasilan namun penghasilannya itu kurang dari kebutuhan pokok diri dan tanggungannya. Misalnya seorang  punya istri dan 5 orang anak, kebutuhan pokok keluarganya adalah Rp5 juta sebulan, tapi penghasilannya cuma Rp4 juta (80%), maka ia tergolong miskin.  Sedangkan Fakir adalah orang yang secara fisik memiliki kekurangan, misalnya buta, lumpuh, tuli, janda yang tidak memiliki penanggung, sarjana yang belum mendapat pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya, atau orang yang memiliki pekerjaan tapi penghasilannya kurang setengah (<50%) dari kebutuhan diri dan tanggungannya. Fakir jauh lebih buruk keadaannya dari si miskin, sehingga jika ditemukan keduanya maka fakir mesti didahulukan.

Batasan miskin dibuat oleh berbagai pihak atau lembaga. Pemerintah memberi batasan miskin adalah orang yang punya pengeluaran US$ 1,5 per hari. Bank Dunia memberi batasan bahwa miskin adalah orang yang punya penghasilan kurang dari US/per hari Pusat Pemungutan Zakat (PPZ) Malaysia memberi batasan bahwa orang yang berhak menerima Zakat (orang miskin) adalah orang yang punya penghasilan kurang dari RM2000 perbulan atau Rp7.400.000 (1RM = Rp3700). Direktorat Jenderal Pajak mengenakan pajak (dianggap orang kaya) jika penghasilan sudah diatas Rp3.000.000. per orang per bulan. Rasulullah SAW memberi batasan bahwa orang miskin ialah yang punya harta kurang dari 50 dirham (perak) atau sekitar Rp4.000.000. (1 dirham = Rp80.000). Al-Qur’an memberi batasan miskin adalah orang yang punya harta (Wajib Zakat) lebih dari 85 gram emas atau senilai Rp42.500.000 setahun atau Rp3.541.666. per bulan. Sebagai seorang Muslim akan lebih tepat memakai ukuran Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.

Untuk mengatasi kemiskinan ini, Islam membagi orang miskin atas 3 (tiga) kelompok. Kelompok pertama adalah orang miskin namun masih kuat bekerja. Atas kelompok pertama ini tidak boleh diberi Zakat atau Infaq, tapi mereka harus bekerja. Rasulullah SAW bersabda ,” Wala Hazhzha fii haa li ghaniyyin wa la li qawwiyin muktasibin”, artinya,”Tidak ada hak  Zakat untuk orang kaya, maupun orang yang masih kuat bekerja..” (HR. Nasa’i 2598, Abu Daud 1633, dan dishahihkan Al-Albani).

Kelompok kedua adalah orang yang miskin tapi masih punya karib kerabat. Kelompok miskin kedua ini diatasi dengan member Infak (nafkah). Islam mengatur bahwa karib kerabat adalah orang yang pertama kali bertanggungjawab terhadap saudaranya yang miskin (QS.2:215). Jika ditemukan orang miskin maka harus ditanya dulu siapa karib kerabatnya (ayah, ibu, saudara, paman). Rasulullah SAW pernah ditanya seseorang yang mengeluh bahwa dia punya saudara yang kerjanya hanya beribadah saja, sedangkan nafkahnya dia yang memberi. Maka Rasulullah SAW mengatakan bahwa engkau tidak tahu jangan-jangan rezeki engkau disebabkan do’a saudaramu yang rajin beribadah itu. Kita sesama saudara sangat dianjurkan untuk saling memberi sebagaimana Rasulullah SAW telah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Ansar di Madinah.

Kelompok ketiga adalah mereka yang miskin dan tidak punya karib kerabat atau miskin dan punya kerabat tapi kerabatnya juga miskin, maka mereka adalah tanggung jawab Ulil Amri (negara) dengan memberi mereka Zakat (QS.9:103 dan 60). Zakat dipungut oleh pemerintah atau lembaga yang disahkan oleh pemerintah, agar tercipta keadilan dalam pendistribusiannya dan menghilangkan rasa rendah diri si penerima zakat (mustahik).

Ketika ujian kekayaan datang, maka Allah SWT perintahkan kita untuk berzakat, mengeluarkan hak orang miskin yang “menempel” pada harta kita. Zakat yang dikeluarkan adalah “kotoran” yang tidak boleh termakan oleh si kaya (Muzakki /Wajib Zakat). Rasulullah SAW pernah memaksa cucu beliau Husein agar memuntahkan zakat yang termakan karena khawatir itu qurma Zakat. Selain tak boleh dimakan, pemanfatan zakat juga tidak boleh dinikmati pembayar Zakat. Misalnya uang Zakat dibelikan keramik untuk masjid dan masjid itu dipakai sikaya, maka dalam hal ini sikaya ikut menikmati zakat yang bukan haknya.

Disamping Zakat, ada lagi kewajiban kaum Muslimin yang kedua yaitu Pajak (Dhariibah). Pajak sebetulnya bukan pengeluaran untuk orang lain, melainkan pengeluaran untuk diri sendiri yang dititipkan pengelolaannya kepada pemerintah. Allah SWT memerintahkan kepada seorang ayah agar memenuhi kebutuhan istri dan anaknya berupa makanan, pakaian (QS.2:233) dan rumah (QS.65:6). Selain itu, seorang Muslim juga perlu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Seluruh kebutuhan diatas tidak dapat/boleh dikelola sendiri-sendiri (menangkap pencuri sendiri, mengobati diri sendiri, mengajar anak sendiri), namun harus dikelola secara ijtima’iyyah (kolektif) oleh Ulil Amri, dimana perlu adanya tentara, polisi, PNS, dokter, perawat, obat, guru, sekolah. Kalau dikelola sendiri-sendiri akan muncul hukum rimba, yang kuat menekan yang lemah atau terjadi monopoli yang merugikan pihak yang lemah dan miskin.

Zakat dan pajak hakikatnya adalah dua instrumen untuk memindahkan (distribusi) kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin. Dalam al-Qur’an dikatakan,”likai laa yakuuna duulatan bainal aghniyaai minkum (agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya di antara kamu), (QS.59:6). Dalam hadits disebutkan,” fa a’limhum annallaha iftaradha ‘alaihim shadaqah fi amwaalihim tu’khadzu min aghniyaa’ihim waturaddu ilaa fuqaraa ihim” yang artinya ,”Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat atas harta mereka, diambil dari orang-orang kaya di kalangan mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin dari mereka.” (HR Bukhari dari Mu’adz bin Jabal).

Zakat dan Pajak adalah dua kewajiban yang diambil dari sumber yang sama yaitu penghasilan (pendapatan). Ia ibarat dua mata air dari sebuah sumur, jika makin sering digali dan dibersihkan maka mata air akan bertambah dan air yang keluar akan bertambah banyak. Jika keduanya ditunaikan, maka akan diberi keberkahan oleh Allah SWT, sehingga harta akan semakin bertambah dan bertumbuh. Allah SWT telah menjamin, tidak akan berkurang harta dengan Shadaqah. Zakat dan Pajak adalah termasuk Shadaqah!

Di Masjid sering kita dengar pengumuman yang berbunyi,“Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara jamaah yang dirahmati Allah SWT. Kami pengurus menerima sumbangan berupa Zakat, Infak, Shadaqah dan Waqaf, yang sepenuhnya akan kami gunakan untuk pembangunan dan berbagai keperluan dalam rangka memakmurkan masjid.” Sekilas pengumuman ini terlihat benar, namun ada yang keliru. Hal ini sungguh keliru karena pengurus menyatukan empat hal yang berbeda tujuan penggunaannya! Di masjid juga kita temukan kotak amal yang bertuliskan,”Zakat, infak, Shadaqah, Waqaf”. Sekilas antara keempat jenis penerimaan masjid tersebut tidak ada perbedaan bagi yang mengeluarkan hartanya, bahkan banyak petugas masjid yang menerima dana tersebut juga tidak faham perbedaannya sehingga dalam pemanfaatannya dianggap sama, padahal tujuan dan sumbernya adalah berbeda. Ibarat sebuah bus kota, lain bus lain pula trayeknya.

Infak berasal dari kata nafaqa yang berarti belanja (nafkah). Ia digunakan seperti kita memberi nafkah kepada anggota keluarga (istri, anak, ibu, kakak, adik), maka uang infak harus digunakan untuk kebutuhan rutin seperti gaji petugas (garin/marbot), listrik, telepon, air, alat kebersihan, makan dan minum jamaah. Infaq tidak boleh digunakan untuk membantu asnaf yang delapan yang merupakan wilayah zakat, apalagi  untuk belanja barang modal seperti bangunan, mesin, tanah, karpet, keramik, semen dan barang modal lainnya yang merupakan barang wakaf.

Zakat harus diserahkan kepada orang yang termasuk dalam asnaf yang delapan yaitu fakir, miskin, ‘amil, riqab (budak), gharim (orang yang berhutang), ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan) dan fisabilillah (orang yang berperang di jalan Allah SWT). Tidak diserahkan kepada masjid karena masjid bukan orang. Apabila pengurus masjid (sebagai ‘amil) menerima Zakat maka harus segera dibagikan kepada asnaf yang delapan tersebut, tidak boleh digunakan untuk keperluan masjid. Jika dipakai untuk masjid maka orang kaya (muzakki) yang shalat di situ akan ikut menikmati uang Zakat sehingga hal ini menjadi haram.

Wakaf harus digunakan untuk barang modal, yaitu barang yang dapat dipergunakan dalam jangka waktu lama seperti karpet, keramik, semen, batu batu, pengeras suara, tanah. Uang wakaf tidak boleh digunakan untuk gaji, alat pembersih, dan benda-benda yang cepat habis. Selama benda yang diwakafkan ada dan bermanfaat maka pahalanya akan mengalir kepada si wakif. Benda yang diwakafkan tidak boleh dijual, digadaikan atau dirubah statusnya sampai hari kiamat.

Rasulullah SAW bersabda,“Kullu ma’rufin shadaqah” yang artinya seluruh kebaikan adalah shadaqah. Zakat, Infaq, Wakaf diatas seluruhnya disebut Shadaqah. Shadaqah lebih luas karena terdiri dari materi dan non materi. Jika kita tidak mampu menolong saudara dengan materi maka kita bisa membantu dengan pemikiran atau tenaga. Hal ini termasuk shadaqah. Jika materi, pemikiran, tenaga juga tidak ada maka senyum kepada saudaramu juga shadaqah.

GusfahmiPegawai Direktorat Jenderal PajakSumber : pajak.go.id (16 Juni 2016)

Baca: Amsal 30:7-14Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. (Amsal 30:8)Bacaan Alkitab Setahun: Wahyu 17-18

Mungkin tidak ada orang yang mau miskin, tetapi pasti banyak yang mau hidup menjadi kaya. Ada banyak penyebab seseorang menjadi miskin atau kaya, entahkah kemalasan dan kerajinan, kebebalan dan kepandaian, atau kejujuran dan kecurangan, tetapi semuanya tidak pernah lepas dari izin Tuhan. Agur bin Yake dalam amsalnya menuliskan hal yang penting dalam permohonannya kepada Tuhan, yaitu jangan memberikan kepadanya kemiskinan atau kekayaan. Meminta jangan diberi kemiskinan adalah hal biasa, tetapi mengejutkan bahwa ia juga meminta jangan diberi kekayaan. Mengapa tidak miskin, tetapi juga tidak kaya? Baginya, ternyata baik kemiskinan maupun kekayaan bisa membawa masalah dan risiko yang berbahaya. Adalah luar biasa ketika ia menyatakan bahwa biarkan ia bisa menikmati makanan yang Tuhan berikan. Tanpa rasa syukur, kekayaan bisa membuat seseorang menyangkal Tuhan. Kekayaan seolah-olah hasil kerja semata sehingga seseorang tidak lagi memerlukan Tuhan dan ia bebas melakukan banyak hal dengan kekayaannya. Sebaliknya, tanpa rasa syukur, kemiskinan bisa membuat seseorang mencuri dan mencemarkan nama Tuhan. Di sekitar kita, tentu kita bisa melihat orang-orang baik yang begitu miskin maupun yang begitu kaya. Tidak jarang hal itu menjadi masalah. Tuhan mengizinkan baik anak-anak-Nya miskin atau kaya. Marilah kita belajar bersyukur dan menikmati apa yang Tuhan berikan, entah kemiskinan entah kekayaan. Itulah yang menjauhkan kita dari penyangkalan dan pencemaran nama Tuhan.

—ANT/www.renunganharian.net

KEMISKINAN ATAU KEKAYAAN BUKAN MASALAHNYA,TETAPI KESANGGUPAN UNTUK BERSYUKUR ITULAH MASALAHNYA

Anda diberkati melalui Renungan Harian?Jadilah berkat dengan mendukung pelayanan kami.Rek. Renungan Harian BCA No. 456 500 8880 a.n. Yayasan Gloria

Pada suatu hari, dua orang tetangga penulis sedang bercakap-cakap di pinggir jalan. Kebetulan mereka memiliki kemampuan ekonomi yang berbeda yakni seorang pejabat sehingga secara ekonomi termasuk golongan mampu dan satunya kurang mampu.”Ajaran Islam itu memerintahkan umatnya agar menjadi umat yang kaya, sebab Islam mengajarkan adanya zakat, infak, sedekah, ibadah haji, dan lain-lain. Bahkan, saat akan shalat pun harus tersedia air dan pakaian untuk menutup aurat yang tentu saja membutuhkan dana untuk membelinya,” kata tetangga yang mampu itu sembari tersenyum.Namun, tetangga yang kurang mampu hanya tertawa lebar mendengarnya. Lalu dia menjawab, “Belum tahu ya… kalau seseorang yang kurang mampu seperti saya akan lebih cepat masuk surga karena pemeriksaannya sebentar. Kalau kaum kaya pasti lama pemeriksaan di akhirat sebab hartanya melimpah, apalagi kalau diperoleh dari jalan korupsi dan manipulasi,” jawabnya.Lantas dia menimpali, “Saya juga orang kaya sebab banyak mobil saya berseliweran di jalan. Tinggal saya tunjuk pasti berhenti. Maksudnya, angkutan kota (angkot),” katanya tertawa ditimpali tertawa lebar dari tetangga yang kaya tersebut.Pertanyaannya, mana yang lebih utama menjadi kaum Muslimin yang kaya atau orang fakir? Tentu kalau kita ditanya masalah itu pasti menginginkan menjadi orang yang kaya. Sesungguhnya dalam ajaran Islam, kedua kelompok itu memiliki kelebihan, kebaikan, termasuk kekurangannya masing-masing.Suatu hari, orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah) pernah datang menemui Nabi Muhammad SAW. untuk mengadukan nasibnya.”Ya Rasulullah, orang-orang (kaya) yang memiliki harta berlimpah bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi (di sisi Allah) dan kenikmatan yang abadi (di surga). Mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka berpuasa seperti kami berpuasa, tetapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad, dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta.” (Al-Bukhari Hadits No. 807 dan 5.970 dan Muslim Hadis No. 595)Dari hadits itu, kita bisa menarik benang merah kalau keutamaan orang-orang kaya adalah dapat melakukan ibadah yang tidak bisa dilakukan orang miskin.Ulama terkenal, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah) pada (harta) kekayaannya dibandingkan dengan orang miskin karena berinfak di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya.” (Kitab Fathul Baari)Namun, jangan salah juga dalam menyikapi kondisi kemiskinan, sebab orang miskin dalam pandangan Islam juga memiliki keutamaan. Rasulullah SAW. bersabda kepada Aisyah RA.,”Mereka (orang-orang miskin) lebih dahulu 40 masuk ke surga sebelum orang-orang kaya. Wahai Aisyah, janganlah engkau menolak (tidak memberi) seorang miskin walaupun dengan setengah butir kurma! Wahai Aisyah, cintailah orang-orang miskin dan mendekatlah kepada mereka, maka Allah akan mendekatkanmu pada-Nya di Hari Kiamat.” (HR. at-Tirmidzi)Sahabat Abu Dzar RA. berkata,”Rasulullah berwasiat padaku agar mencintai orang-orang miskin dan mendekat pada mereka.” (HR. Imam Ahmad)Bahkan, ada doa nabi yang berkaitan dengan kaum miskin ini yakni,”Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan bangkitkanlah aku sebagai orang-orang miskin pula.”Sesungguhnya seorang Muslim wajib meyakini hidup di dunia dan akhirat tidak akan selamat apabila tidak menaati perintah Allah dan rasul-Nya. Apabila seorang Muslim ditakdirkan Allah memiliki kewenangan dan kekuasaan sehingga berpeluang melakukan korupsi, tetapi tidak dilakukannya karena takut kepada Allah. Dia tidak hanya berpikir dan bertindak untuk waktu sekejap di dunia atau sekadar mengejar kekayaan dan kesejahteraan semu di dunia ini.Sebaliknya apabila Anda diamanahi sebagai pemimpin apa pun tingkatannya, harus digunakan sebagai jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Caranya dengan memberdayakan, peduli, dan mengangkat harkat derajat kaum yang tak beruntung. Meskipun pemerintah sudah menggulirkan berbagai kebijakan pro-kemiskinan seperti Jamkesmas, Jamkesda, Raskin, Keluarga Harapan, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), maupun bantuan siswa miskin, tetap saja belum bisa mengangkat kehidupan masyarakat miskin. Sungguh ironis ketika kaum tak beruntung belum bisa dipenuhi kebutuhan hidup minimalnya. Namun, para pejabat yang mengurusi kaum miskin malah sebaliknya, sulit menemukan pejabat yang menderita untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.Idealnya, seorang pemimpin harus berani hidup menderita bukan sebaliknya siap menjadi kaum kaya baru. Jangan berpesta di atas penderitaan lingkungannya. Seraplah suara-suara rakyat yang kadang berkata, “Dalam hidup ini untuk mencari yang haram susah apalagi yang halal.” Akhirnya mereka mencari jalan pintas sebatas untuk mencukupi kebutuhannya. Mereka kurang paham dengan ajaran agamanya, tetapi setiap hari selalu membaca dan mendengar berita soal korupsi dan manipulasi sehingga pemikirannya dipenuhi dengan buruk sangka (suuzan).Kaum yang diberikan kemudahan dalam mencari rezeki Allah sepantasnya bahkan seharusnya jangan langsung dicap sebagai kaum pencinta dunia, apalagi jauh dari Allah. Ajaran Islam tidak melarang umatnya untuk menjadi kaya bahkan dianjurkan untuk kaya. Persoalannya bukan kaya atau miskin, melainkan bagaimana kita mendapatkan kekayaan itu lalu bagaimana membelanjakannya? Kedua, pertanyaan mengenai harta itu akan dikemukakan Allah di persidangan akhirat kelak. Cara mendapatkan kekayaan harus halal dan bersih serta pengeluarannya harus di jalan yang baik. Kita tak bisa membelanjakan harta hasil korupsi di jalan agama Allah, misalnya dengan menyumbang masjid atau pesantren meski alasannya untuk membersihkan diri.Harta yang dibersihkan dengan dana zakat, infak, dan sedekah adalah harta yang dari awalnya didapat dengan cara-cara yang halal. Hanya, dalam harta itu masih terdapat bagian kaum lain yang kurang mampu sehingga wajib kita sisihkan dan bersihkan. Selama ini ada kesan kalau ibadah seperti zakat, infak, sedekah, haji, maupun umrah merupakan pembersih dari harta kita yang didapat dengan cara yang kurang baik.Tentu bagi kaum yang kurang beruntung juga harus mewaspadai adanya peringatan dari Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan, kemiskinan cenderung dekat kepada kekufuran. Seseorang yang miskin secara ekonomi lebih mudah diiming-imingi sesuatu agar melaksanakan perbuatan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Bahkan, kaum miskin sering dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat.Kesimpulannya, semua akan kembali kepada bagaimana menyikapinya. Rasanya kurang tepat kalau dikatakan bahwa Muslim ideal itu adalah yang miskin saja atau yang kaya saja. Yang ideal adalah yang miskin tetapi bersabar dan yang kaya tetapi banyak berinfak serta syukur. Keduanya telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya.Wallahu a’lam. ***H. PUPUH FATHURRAHMAN, Sekretaris Senat UIN Sunan Gunung Djati dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pesantren Raudhatus Sibyan Sukabumi. Sumber, PIKIRAN RAKYAT Edisi Kamis 16 Februari 2012 / 23 Rabiul Awal 1433 H.

SUATU hari, ada seorang pemuda yang pandai dan terampil di sebuah sekolah. Ia selalu mendapat nilai tinggi dalam semua mata pelajaran. Berbagai keterampilan dan ekstrakurikuler pun dengan mudah dipelajarinya. Akan tetapi, salah satu kelemahannya adalah tidak bisa bekerja sama dengan orang lain. Ia merupakan tipe orang yang suka menyendiri dan bekerja sendiri. Dengan segala kemampuannya, ia yakin dapat sukses dalam segala hal. Hingga pada suatu hari, seorang guru memberi tugas kelompok. Teman-temannya tidak ada yang ingin sekelompok dengan pemuda tersebut. Ia tidak menghiraukan dan tetap mengerjakan tugas itu sendiri. Pada akhirnya, tugas si pemuda tersebut tidak mendapat nilai karena tidak sesuai dengan instruksi guru.

Dalam Injil hari ini, Yesus berbicara tentang kaya-miskin. Yesus secara tegas membandingkan antara miskin dan kaya. Yang miskin akan berbahagia karena mempunyai Kerajaan Allah, sedangkan yang kaya akan celaka karena telah memperoleh hiburan sebelumnya. Yesus menyangkutpautkan hal ini dengan akhir zaman, bahwa orang miskin karena menderita selama hidupnya di dunia akan bahagia pada akhir zaman. Sebaliknya, orang kaya, karena sudah bahagia selama hidupnya di dunia, akan menderita pada akhir zaman.

Pernyataan Yesus tidak berarti bahwa Ia membenci orang kaya dan hanya berpihak pada orang miskin. Tentunya tidak salah ketika orang menjadi kaya dengan usahanya sendiri yang jujur, dan justru menjadi salah, ketika orang menjadi miskin karena malas. Akan tetapi, perkataan Yesus tentang miskin dan kaya bukan soal benar dan salah, dan bukan juga soal materi. Jika hanya soal materi, maka soal miskin dan kaya bersifat relatif; tergantung dari sudut pandang apa dan dibandingkan dengan siapa. Orang yang memiliki sebuah mobil dianggap lebih kaya daripada orang yang memiliki motor, namun dapat dianggap juga lebih miskin daripada orang yang memiliki banyak mobil mewah.

Lebih dari itu, soal miskin dan kaya adalah soal hati yang terbuka pada belas kasih Allah. Orang miskin yang dimaksud Yesus adalah orang yang selalu menantikan dan berharap akan belas kasih Allah, sehingga berpegang teguh pada Allah. Di sisi lain, orang kaya adalah orang yang sudah merasa cukup akan segala hal sehingga tidak menantikan apa-apa, termasuk tidak berharap akan belas kasih Allah.

Sama seperti kisah di atas, si pemuda merasa sudah hebat dalam segala hal sehingga menjadi sombong dan yakin dapat mengerjakan semua hal tanpa bantuan orang lain. Singkat kata, orang miskin adalah orang yang selalu membutuhkan rahmat Allah dalam setiap langkah hidupnya, sedangkan orang kaya adalah orang yang sombong dan congkak karena merasa dirinya sudah memiliki segala hal, sehingga tidak membutuhkan Allah lagi.

Dalam kehidupan sehari-hari, situasi miskin-kaya menjadi pilihan bagi kita. Situasi miskin-kaya tidak hanya menyangkut akhir zaman. Segala usaha dan kegiatan kita di dunia ini pun menjadi sarana untuk mendapatkan rahmat Allah. Rahmat Allah dapat memiliki banyak bentuk, dan selalu cukup bagi kita.

Sekarang, dengan situasi kondisi hidup saat ini kita dapat bertanya pada diri sendiri bagaimana sikap hati kita kepada Allah. Apakah kita sudah terbuka akan belas kasih Allah? Apakah kita masih keras kepala dan memaksakan kehendak pribadi? Semoga kita dapat merasa miskin di hadapan Allah, lalu semakin dapat membuka hati kepada Allah dalam doa-doa dan kegiatan kita. (Fr. Ignatius Bahtiar)

Bapa yang baik, kami bersyukur bahwa Engkau selalu memelihara hidup dan mendampingi kami dalam setiap situasi. Bukalah hati kami agar selalu menggantungkan harapan hanya padaMu dan bukan kemampuan diri kami sendiri. Amin.

Sebuah penelitian dari Universitas Toronto mengungkapkan bahwa status ekonomi seseorang dapat terlihat dari ekspresi wajah. Studi yang diterbitkan dalam Journal of Personality and Social Psychology ini menunjukkan perbedaan signifikan antara wajah orang kaya dan miskin, yang bisa dikenali bahkan tanpa disadari.

Penelitian ini melibatkan 160 foto hitam-putih dari 80 pria dan 80 wanita, dengan ekspresi wajah netral dan tanpa aksesori seperti tato atau tindikan. Setengah dari foto tersebut berasal dari orang yang berpenghasilan lebih dari USD150.000 atau sekitar Rp2,2 miliar per tahun (kurs Rp 15.160 per USD), sementara sisanya merupakan pekerja dengan penghasilan di bawah Rp 531 juta per tahun.

Para peneliti meminta partisipan untuk menebak status sosial orang-orang dalam foto hanya dari wajah mereka. Hasilnya, 68 persen partisipan mampu menebak dengan akurat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika ditanya bagaimana mereka bisa menebaknya, kebanyakan tidak tahu alasannya," ungkap R. Thora Bjornsdottir, peneliti utama, dilansir dari CNBC Make It, Minggu (22/9/2024).

Setelah eksperimen awal, peneliti memperbesar fokus pada bagian tertentu dari wajah, seperti mata dan mulut. Meskipun bagian mulut memberikan petunjuk yang lebih kuat, kombinasi keseluruhan wajah tetap menjadi indikator paling akurat.

Menurut penelitian ini, orang kaya cenderung memiliki wajah yang lebih 'bahagia' dan tidak menunjukkan tanda-tanda stres atau kecemasan yang berlebihan. Sebaliknya, orang miskin lebih sering memperlihatkan ekspresi yang terkesan lebih tertekan.

"Hubungan antara kesejahteraan dan kelas sosial sudah sering dibahas dalam penelitian sebelumnya, namun studi ini menemukan bahwa perbedaan tersebut tercermin dalam wajah seseorang," tambah Bjornsdottir.

Penelitian ini juga menyoroti potensi dampak negatif dari penilaian cepat berdasarkan wajah, terutama dalam interaksi sosial dan dunia kerja. Salah satu peneliti, Nicholas O. Rule, menyebutkan bahwa penilaian tersebut dapat memperkuat bias sosial.

Sebagai contoh, orang dengan wajah yang dianggap 'kaya' cenderung diperlakukan lebih baik atau diberi kesempatan lebih besar, sementara mereka yang tampak 'miskin' mungkin mengalami diskriminasi.

"Persepsi berbasis wajah tentang kelas sosial mungkin memiliki konsekuensi penting. Ini bisa menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada siklus kemiskinan," ujar Rule.

Allah memberikan rezki kepada mereka, dengan rezeki yang Dia pilih yang di dalamnya ada kemaslahatan, sebaliknya Dia akan menjadikan miskin siapa saja yang berhak untuk miskin dan Allah memberi rezeki sesuai kadar hamba-Nya dalam ketentuan-Nya. Foto ilust

Banyak orang tetap saja tidak menyadari, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berkehendak menentukan seseorang itu

. Sehingga banyak umat Islam ketika kekurangan harta, dia akan meminta-minta kepada selain Allah dengan minta bantuan pesugihan atau penglaris atau minta kepada sesama makhluk, dan sebagainya.

, berpijak, dan berharap. Sedang minta pertolongam ke "orang pintar" atau dukun adalah perbuatan setan yang malah menjerumuskan kepada perbuatan syirik. Seharusnya lah seorang muslim hanya menyandarkan harapannya kepada Allah dengan berusaha, berdoa, dan bertawakal.

Hendaknya disadari juga bahwa Allah maha kaya. Allah maha pemberi. Allah maha mengatur siapa yang layak mendapat kelebihan harta dan siapa yang panas diberi dengan kondisi sedikit kekurangan. Allah yang menentukan siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Bekerja adalah wasilah dan jalan. Tapi Allah yang menentukan

dan kekayaan seorang hamba.

Dalam tafsir surat Asyuura 27 disebutkan, sesungguhnya ada diantara hamba Allah orang yang tidak pantas baginya kecuali kaya. Sebab, ️kalau seandainya Allah menjadikan dia sebagai orang miskin, niscaya kemiskinannya akan merusak dirinya dengan menjauh dari agamanya.

️Dan diantara hamba Allah ada orang yang tidak pantas baginya kecuali miskin. Sebab, kalau seandainya Allah menjadikan dia orang kaya, niscaya kekayaannya akan merusak dirinya dan dia akan berpaling dan menjauh dari agama dan ketaatan.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَا دِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَ رْضِ وَلٰكِنْ يُّنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَآءُ ۗ اِنَّهٗ بِعِبَا دِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ

"Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Mengetahui terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat." (QS. Asy-Syura : 27)

Jadi, adalah hikmah Allah yang begitu agung ketika menetapkan seseorang menjadi kaya atau miskin.

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, ketika menjelaskan Surat Asy- Syura ayat 27, Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa Allah memberikan rezki kepada mereka, dengan rezki yang Dia pilih yang di dalamnya ada kemaslahatan mereka. Dan Allah lebih tahu akan hal itu, maka Dia pun menjadikan kaya orang yang berhak untuk kaya. Lalu menjadikan miskin siapa saja yang berhak untuk miskin. Dan Allah memberi rezeki sesuai kadar hamba-Nya dalam ketentuan-Nya bahwa Dia lah yang maha pemberi rezeki.

Harus diyakini bahwa Allah lah satu-satunya pemberi rezeki. Yaitu rezeki yang sifatnya umum, yaitu segala sesuatu yang dimiliki hamba, baik berupa makanan dan selain itu. Dengan kehendak-Nya, kita bisa merasakan berbagai nikmat rizki, makan, harta dan lainnya.

Karena AllahTa’alaberfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3)

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’: 24)

Allah juga menegaskan bahwa : “Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah; maka mengapakah engkau bisa berpaling (dari perintah beribadah kepada Allah semata)?” (QS. Fathir: 3)

Selain Allah sama sekali tidak dapat memberi rezeki. AllahTa’alaberfirman :